Industri otomotif modern sangat bergantung pada semikonduktor. Dari sistem navigasi, sensor keselamatan, hingga mesin listrik, semua butuh chip. Maka ketika dunia menghadapi krisis chip semikonduktor, industri otomotif jadi salah satu sektor paling terpukul.
Pandemi COVID-19 memicu awal krisis. Permintaan elektronik melonjak, sementara produksi chip terganggu. Akibatnya, pabrik mobil di seluruh dunia kekurangan pasokan, memaksa produsen menghentikan produksi jutaan unit kendaraan.
Dampaknya terasa luas. Konsumen menghadapi kelangkaan mobil baru, harga melonjak, dan waktu tunggu jadi lebih lama. Pasar mobil bekas pun ikut terdorong naik karena permintaan tak bisa dipenuhi pabrikan.
Produsen otomotif kini berlomba mencari solusi. Beberapa menjalin kemitraan langsung dengan perusahaan chip untuk memastikan pasokan. Lainnya berinvestasi dalam riset chip khusus otomotif yang lebih efisien dan hemat bahan baku.
Pemerintah juga turun tangan. AS, Jepang, dan Uni Eropa meluncurkan program miliaran dolar untuk membangun pabrik chip lokal, agar tidak lagi bergantung penuh pada Asia Timur. Namun, membangun industri ini butuh waktu bertahun-tahun.
Krisis chip membuktikan rapuhnya rantai pasok global. Ketergantungan pada satu wilayah atau pemasok menjadi risiko besar bagi industri yang begitu vital.
Meski situasi mulai membaik, krisis chip jadi pelajaran penting. Industri otomotif harus lebih adaptif dan siap menghadapi disrupsi rantai pasok di masa depan.
Mobil masa depan mungkin lebih pintar, tetapi tanpa chip, semuanya hanya besi tanpa nyawa.