Munculnya platform digital seperti Gojek, Grab, ShopeeFood, dan platform freelance telah melahirkan sebuah model kerja baru yang dikenal sebagai gig economy. Model ini menawarkan fleksibilitas yang belum pernah ada sebelumnya, di mana pekerja dapat menentukan sendiri jam kerja dan tingkat pendapatan mereka.
Bagi banyak orang, gig economy menjadi solusi di tengah sempitnya lapangan kerja formal. Ia memberikan kesempatan bagi mahasiswa, ibu rumah tangga, atau siapa saja untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Fleksibilitas ini menjadi daya tarik utama yang sulit ditandingi oleh pekerjaan kantoran tradisional.
Namun, di balik fleksibilitas itu, terdapat kerentanan yang serius. Pekerja gig (seperti pengemudi ojol atau freelancer) umumnya berstatus sebagai “mitra”, bukan karyawan. Status ini membuat mereka tidak memiliki hak-hak dasar pekerja, seperti upah minimum, jaminan sosial (BPJS), pesangon, atau cuti berbayar.
Mereka menanggung sendiri semua risiko pekerjaan, mulai dari biaya operasional (bensin, perawatan kendaraan), risiko kecelakaan di jalan, hingga ketidakpastian pendapatan akibat perubahan algoritma atau skema insentif platform. Tidak ada jaring pengaman sosial yang melindungi mereka saat sakit atau mengalami musibah.
Regulasi ketenagakerjaan yang ada saat ini (UU Cipta Kerja) belum sepenuhnya mampu menjawab kompleksitas hubungan kemitraan di era gig economy. Diperlukan terobosan hukum baru yang dapat memberikan perlindungan dasar bagi pekerja gig tanpa harus menghilangkan esensi fleksibilitas yang ditawarkan platform.

